GORONTALO (barometernewsgo.com)-Pemilihan calon Gubernur Gorontalo tahun 2024 ini, terbilang menarik dan unik. Disebut demikian, karena terdapat 2 kubu yang tengah bertarung, yakni antara kubu kepemimpinan masa lalu Provinsi Gorontalo dan kubu calon pemimpin masa depan Gorontalo yang masih cukup terjaga.
Kepemimpinan Gorontalo masa lalu atau juga boleh disebut menawarkan kepemimpinan “Gaya Lama” terdiri dari 2 pasangan calon (Paslon), yakni pertama, Gusnar Ismail yang pernah jadi Gubernur pada 2009-2012 dan Idah Syahidah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Rusli Habibie sebagai Gubernur 2 periode.
Kedua, Toni Uloli dan Marten Taha dari nomor urut 1 yang mesti terbilang singkat, namun pernah jadi Wakil Gubernur 2009-2012.
Sementara calon pemimpin masa depan Gorontalo yang belum pernah duduk di kursi Puncak Botu dan menawarkan spirit baru, semangat baru, gagasan baru dan “gaya baru”, terdapat 2 Paslon, yakni Prof. Nelson Pomalingo dan Mohamad Kris Wartabone dari nomor urut 2 dan Hamsah Isa-Ustadz Bachmid nomor urut 3.
Tidak hanya itu saja, jika merujuk pada sejarah dan memori pembentukan serta lahirnya Provinsi Gorontalo 24 tahun yang lalu, maka pertarungan Pilgub kali ini juga ternyata melebur menjadi 2 kubu Paslon.
Yakni 2 Paslon yang membawa spirit kepemimpinan “pejuang” dan 2 kubu Paslon mengusung nuansa kepemimpinan sebagai “penikmat”.
Paslon yang masuk kategori “pejuang” adalah Prof. Nelson Pomalingo sebagai mantan Ketua Presidium Nasional Pembentukan Provinsi Gorontalo dan Hamsah Isa dari nomor urut 3 yang juga dikenal sebagai aktivis pembentukan Provinsi Gorontalo di organisasi warga Gorontalo LAMAHU di Jakarta.
Adapun Paslon yang membawa nuansa kepemimpinan kategori kedua, adalah 2 Paslon juga, yakni Gusnar Ismail-Idah Syahidah nomor urut 4 dan Toni Uloli-Marten Taha Paslon nomor urutnya 1.
Pada tahun 1999-2000, Gusnar Ismail menjabat Sekwilda Kotamadya Gorontalo. Menurut informasi yang pernah disampaikan oleh salah seorang aktivis HPMIG Manado, Gusnar Ismail termasuk salah seorang pejabat di Gorontalo kala itu yang tidak berani terang-terangan mendukung terbentuknya Provinsi Gorontalo. Bahkan terinformasi Gusnar Ismail termasuk yang “pesimis” bahwa Gorontalo akan menjadi Provinsi kala itu.
Menurut sinyalemen salah seorang aktivis HPMIG Manado sebagaimana disampaikannya, bahwa pesimisme dan ketidakberanian Gusnar Ismail kala itu karena takut “pica balanga”. Maklum yang berwenang mengangkat pejabat Sekwilda ada di Pemprov Sulut.
Sementara wakilnya Idah Syahidah kala itu masih berkiprah di Pulau Jawa. Demikian juga dengan Toni Uloli yang konon masih melalangbuana membangun usaha di Papua. Bagaimana dengan wakilnya Marten Taha? Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa tahun 1999-2000, Marten Taha adalah Anggota DPRD Provinsi Sulut dari Daerah Pemilihan (Dapil) Gorontalo.
Saat giat-giatnya pembentukan Provinsi Gorontalo, menurut cerita yang dituturkan oleh salah seorang aktivis HPMIG Manado, kala itu tercetus kelompok M.16 di Deprov Sulut yang pada intinya, kelompok ini “tidak mendukung” pembentukan Provinsi Gorontalo secara kelembagaan, namun tidak jelas apakah mendukung secara personal.
Terlepas dari konstelasi 2 kubu yang tercipta pada Pilgub kali ini,satu hal yang pasti, bahwa perhelatan Pilgub tahun ini, sangat berbeda dengan Pilgub akhir tahun 2011 lalu yang identik dengan pertarungan yang mengingatkan istilah GT (Genset Tua) dan “meya-meyanya NKRI, maupun pertarungan Pilgub 2016 lalu yang nampak tidak terlihat ide-ide segar tentang Gorontalo kala itu.
Satu hal lagi, bahwa pertarungan Pilgub kali ini, sangat mungkin menjadi panggung terakhir bagi pemimpin generasi Gorontalo era 1950-1960-an.
Dengan begitu, kepemimpinan hasil Pilgub 2024 kali ini boleh disebut, merupakan kepemimpinan masa transisi yang kelak akan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan pada figur-figur generasi yang terlahir di era tahun 1970-1980-an bahkan generasi 1990-an.
Itulah sebabnya yang menjadi menarik, adalah kehadiran Paslon Patriot Gorontalo Nelson-Kris yang jika diamati selama kampanye, sangat nampak Prof. Nelson Pomalingo sadar akan realitas politik saat ini dan ke depan.
Paling tidak hal itu tercermin dari visi-misi Patriot Gorontalo Prof. yang mencetuskan gagasan besar tentang Gorontalo melalui visi Gorontalo Emas.
Jika dicermati dari misi Prof. Nelson-Kris, kesemuanya sangat sejalan dengan program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang mengusung visi Indonesia Emas 2045 dengan misi Asta Cita yang dicanangkan baru-baru ini.
Visi besar Gorontalo Emas 2045 membawa dampak besar, diantaranya terkait dengan masuknya era bonus demografi di Gorontalo.
Bonus demografi, salah satunya dapat disiasati melalui program pendidikan yang unggul dan berkualitas, kemudian program pertanian, perikanan dan peternakan yang terintegrasi dan terpadu menuju hilirisasi program, yang secara konkrit hanya bisa diwujudkan melalui program New Agropolitan, Agro Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus.
Semua program yang sejalan dengan visi Presiden Prabowo itu, sejauh ini hanya terlihat dari pasangan calon Nelson-Kris.
Artinya, Prof. Nelson dan Kris Wartabone sangat sadar bahwa ketika ia terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, ia harus menawarkan mindset kepemimpinan baru dengan gagasan besar Gorontalo yang estafet kepemimpinannya akan diserahkan kepada generasi baru Gorontalo yang lebih energik dan menjanjikan. Semoga.(Ali Mobiliu)