Oleh:
Prof Fory Armin Naway
Ketua PGRI Kab. Gorontalo
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) menjadi momentum penting untuk merefleksi dan menelaah kembali eksistensi pendidikan di Indonesia, tidak hanya dari aspek regulasi dan kebijakan oleh Pemerintah, tapi juga memaknai peran guru sebagai garda terdepan dalam proses pendidikan.
Hal itu penting, karena tantangan pendidikan yang diharapkan melahirkan outputnya yang unggul, berdaya saing dan berkarakter, sebenarnya sangat bergantung pada performance guru dalam proses pembelajaran di sekolah.
Yang menjadi catatan penting, bahwa Indonesia saat ini sudah memasuki era bonus demografi menuju Indonesia emas 2045.
Bonus demografi adalah kondisi dimana jumlah usia produktif populasinya jauh lebih besar dibandingkan dengan usia yang tidak produktif. Itu artinya, anak-anak didik yang saat ini duduk di bangku pendidikan, bahkan anak usia pra sekolah sebagai generasi penerus bangsa diharuskan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan dan kompetensi yang unggul dan berdaya saing. Jika tidak, maka Indonesia tidak sedang memasuki era bonus demografi, tapi “malapetaka demografis”.
Oleh karena itu, performance guru dalam proses pembelajaran di sekolah, tidak sekadar terpaku pada kurikulum pembelajaran, tapi sangat dibutuhkan inovasi-inovasi pembelajaran yang bertumpu pada kearifan lokal, baik secara kelembagaan, institusional maupun pendekatan pembelajaran secara personal pada setiap anak didik.
Artinya, sikap, perilaku dan metode guru dalam melakukan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang bersifat edukatif, membutuhkan kiat-kiat khusus yang senantiasa merujuk pada kondisi sosial, psikologis bahkan latar belakang keluarga dari setiap anak didik.
Bagaimanapun, anak didik di sekolah yang berjumlah puluhan dan ratusan orang, memiliki karakter dan kepribadian bahkan latar-belakang keluarganya yang bersifat multidimensional.
Hal itu membutuhkan performance guru yang “cerdas”, yakni Guru yang mampu memaknai dan menghayati sikap, perilaku,karakter dan psikologi anak didiknya.
Dari aspek itulah kemudian guru mampu mencetuskan metode pendekatan pembelajaran dan pengajaran beserta konsep mendidik yang bersifat adaptif dan konstruktif.
Prinsip ideal seorang guru “memanusiakan manusia” dapat dimaknai sebagai bagian dari tugas mulia, yakni “memikirkan generasi hari ini dan mempersiapkan generasi yang akan datang”.
Prinsip ideal itu, penjabarannya tidak hanya merujuk pada kurikulum yang telah ditetapkan, tapi lebih dari itu, dapat diterjemahkan secara lebih elegan oleh seorang guru.
Peran guru di sekolah dalam konteks ini, tidak sekadar melakukan pendekatan pembelajaran secara kolektif di kelas, tapi juga ada frasa pembelajaran dan pengajaran melalui pendekatan personal kepada anak didik yang nota bene masing-masing anak didik tersebut memiliki kepribadian yang beragam.
Menghadapi seorang anak didik yang ternyata “nakal” atau bandel sangat berbeda dengan menghadapi anak didik yang terbilang rajin, disiplin atau anak pintar di sekolah.
Menghadapi anak didik yang memiliki bakat di bidang seni, sangat berbeda dengan menghadapi anak didik yang memiliki minat dan bakat di bidang olahraga atau di bidang lainnya misalnya.
Disitulah pentingnya guru cerdas, yakni performance guru yang tidak hanya mampu menjabarkan metode pembelajaran yang bersumber dari yang “tertulis” atau tersurat, tapi juga menjabarkan metode mendidik yang “tidak tersurat”, berupa panggilan nurani guru untuk menanamkan nilai-nilai ideal ke dalam lubuk hati anak didik sehingga memiliki karakter hidup yang mumpuni.
Apalagi di era perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat dewasa ini, kondisi dan situasi yang dihadapi oleh anak didik sekarang, sangat berbeda dengan era tahun 1980-an -1990-an.
Di era itu, mindset seorang guru adalah bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik yang bersumber dari buku ajar atau sumber pengetahuan lainnya. Tapi di era sekarang, mindset guru seperti itu tidak lagi memiliki korelasi yang harus dipertahankan secara fanatik oleh seorang guru. Hal itu terjadi, karena bisa saja seorang anak didik sudah selangkah lebih maju atau lebih dulu mengakses informasi dan ilmu pengetahuan dari internet melalui berbagai platform Google schooler, IA, Chat GPT dan sebagainya pada waktu senggangnya yang banyak, jika dibandingkan dengan seorang guru yang waktunya tersita oleh berbagai tugas akademik, tugas administratif bahkan urusan-urusan lainnya di luar sekolah.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran di sekolah, metode pembelajaran kognitif sejatinya, memiliki bobot yang sama dengan metode pembelajaran afektif dan psikomotorik.
Dengan kata lain, anak didik tidak hanya diajarkan dan dilatih untuk berpikir, tapi juga kritis, diasah nuraninya dan dibangun semangat motivasinya untuk menekuni minat dan bakat serta keterampilannya untuk menghadapi tantangan hidup yang semakin kompleks.
Yang patut menjadi catatan, bahwa di era bonus demografi saat ini dan ke depan, membutuhkan generasi baru, yakni generasi yang tidak melulu berorientasi menjadi Pegawai Negeri, menjadi karyawan dan sebagainya, tapi generasi yang memiliki semangat untuk berkreasi dan berinovasi menciptakan “nilai tambah” dengan memberdayakan segala bentuk potensi sumber daya yang ada di sekitarnya.
Pengembangan dan pembentukan karakter itu, sejatinya dimulai dari bangku pendidikan yang dapat dirancang melalui konsep pembelajaran dan pengajaran yang bertumpu pada bagaimana mengasah daya nalar anak didik sehingga bertumbuh menjadi generasi yang tidak sekadar mengandalkan “Ijazah”, tapi mengandalkan daya pikir dan saya juang yang tinggi. Bukan mencari kerja atau mencari peluang, tapi mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya dan orang lain atau mampu menggagas peluang bagi masa depannya yang lebih baik.
Oleh karena itu, peringatan hari pendidikan nasional tahun ini, tidak sekadar menjadi momentum untuk kegiatan seremonial, tapi juga membangun komitmen dalam kerangka merumuskan dan mengaktualisasikan kembali peran guru yang berorientasi pada masa kini dan masa depan.
Tugas utama guru, adalah memikirkan generasi hari ini dan mempersiapkan generasi yang akan datang. Namun dibalik itu, peran guru bagi masa depan bangsa ini, membutuhkan dukungan dari seluruh elemen untuk bersinergi membangun pendidikan ke arah yang lebih baik.
Sejak tahun 2020, sektor pendidikan di Indonesia mengalami cobaan dan guncangan yang boleh disebut memecah konsentrasi membangun pendidikan yang unggul dan berkualitas.
Tidak hanya cobaan Pandemi Covid-19 mulai tahun 2020, tapi juga euforia pesta demokrasi Pemilu dan Pilkada serentak tahun 2024, juga menjadi sisi lain yang menempatkan dunia pendidikan seakan hanya sekadar menjadi “tema kampanye” yang dirangkai dalam kalimat-kalimat retorika belaka.
Bahkan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD yang diamanatkan oleh konstitusi tenggelam oleh berbagai euforia politik dan kasak-kusuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang tak pernah berhenti.
Bahkan dalam hampir satu tahun terakhir ini, persoalan yang mencuat hanya fokus pada seputaran program “Makanan Bergizi Gratis” yang seakan menempatkan persoalan pendidikan tidak lebih dari sekadar masalah “perut”, sementara substansi pendidikan yang sejatinya mengembangkan alam berpikir generasi masa depan bangsa yang produktif menjadi terabaikan. Dirgahayu pendidikan Nasional.(***).