Oleh: Ali Mobiliu
Penulis adalah jurnalis. Alumni balai jurnalistik ICMI orwil jawa barat di bandung, sekarang tinggal di Gorontalo
Media Online saat ini tengah berjaya, saking jayanya, ia seakan mampu menurunkan (mematikan) pamor media cetak yang selama ini eksis di dunia Pers. Keberadaan Media online, di satu sisi menjadi berkah, yakni mampu menyajikan informasi yang cepat dan masif, namun di sisi lain, juga memberikan dampak yang terkadang tidak sehat, dalam konteks manifestasinya sebagai salah satu pilar negara yang harus mengedukasi, mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat.
Pertanyaan yang mungkin bergelayut dalam benak publik adalah, mengapa Media Online saat ini tumbuh bagai jamur di musim penghujan, baik dalam skala nasional maupun skala daerah? untuk menjawab pertanyaan ini mudah, yakni salah satu pemicunya adalah kemudahan yang ditawarkan dalam mendirikan sebuah Media Online dan kepraktisan dalam mempublish suatu berita. Selain itu, Undang-Undang-Undang Pers yang berlaku saat ini, tidak secara spesifik mengatur tentang keberadaan media Online, karena diundangkan pada tahun 1999 yang ketika itu, Media Online belum marak dan berkembang pesat seperti sekarang ini.
Sifat dan karakteristik media massa adalah, padat modal dan padat karya. Artinya, untuk mendirikan sebuah stasiun televisi, media cetak (Koran harian, Tabloid, Majalah) dan radio, membutuhkan modal yang besar, hingga ratusan juta bahkan mencapai milyaran Rupiah. Namun tidak demikian dengan media Online. Cukup dengan modal kurang lebih Rp. 3 juta, seseorang sudah bisa membayar Webmaster (desain Web) dan menyewa hosting internet. Selanjutnya, jika memenuhi ketentuan Dewan Pers, bahwa Media Online harus berada di bawah perusahaan Perseroan (PT), maka seseorang hanya membutuhkan modal, tidak lebih dari Rp. 10 juta untuk membayar pembuatan akte perusahaan di Notaris dan izin-izin yang bersifat administratif lainnya.
Demikian juga dengan Kantor Redaksi, terkadang seseorang hanya membutuhkan sepetak ruangan, bahkan ada yang hanya menempati kamar ukuran 3 x 3 M, sudah dianggap cukup memadai untuk menaruh satu unit komputer atau labtop, yang penting ada 2 hal, yakni memiliki jaringan internet dan sudah bisa merangkai kalimat dalam berita. Dari sini, logika berpikir kita akan mengatakan, betapa mudahnya seseorang mendirikan dan memiliki Media Online serta begitu praktisnya seseorang mengklaim diri sebagai Wartawan.
Jika mengacu pada sistem ideal yang berlaku di perusahaan-perusahaan media massa besar yang menjunjung tinggi profesionalisme, atau sebutlah media mainstream yang berskala nasional, Terdapat 2 kelompok unit kerja, dalam dunia pers yang bergerak secara tersistematis, terarah dan terstruktur. Meliputi bagian Redaksional dan Bagian Umum. 2 instrumen penting ini, menggambarkan sekaligus meneguhkan, bahwa media massa itu, ibarat 2 sisi mata uang, yakni sebagai wahana mengemban idealisme di satu sisi dan sebagai Industri di sisi yang lain. Sementara Untuk menggerakkan 2 instrumen penting itu, membutuhkan modal yang tidak sedikit.
Bagian redaksional mengemban fungsi “Idealisme Pers” sebagai salah satu Pilar demokrasi yang siap melakukan pekerjaan meliput, mengolah, meramu, menyajikan berita dan informasi yang mencerahkan, mengedukasi, mencerdaskan dan termasuk mengemban fungsi kontrol. Bagian Redaksional di media massa yang menjunjung tinggi profesionalisme secara umum, memiliki konsep kerja jurnalistik antara lain, Pertama, wartawan/reporter bertugas menghimpun dan menyusun berita atau informasi yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya dimasukkan ke bagian Redaktur untuk diolah guna memberi “bobot” muatan berita, berdasarkan kode etik jurnalistik, kaidah bahasa jurnalistik dan sebagainya. Kedua, berita yang sudah melalui proses “pembobotan” Redaktur, masuk lagi ke Redaktur Pelaksana. Di media massa cetak, Redaktur Pelaksana biasanya dikenal juga dengan istilah “Jabrik” atau penjaga rubrik yang bertugas menjamin rubrik-rubrik yang ada di media massa, terisi dengan berita atau informasi yang relevan dengan rubrik, plus menarik dan berkualitas. Proses Ketiga, masuk ke Pemimpin Redaksi sebagai filter terakhir yang memiliki hak penuh dalam menentukan kelayakan berita atau informasi yang akan disajikan ke khalayak publik. Jika Redaktur Pelaksana secara struktur organisasi “bertanggung jawab ke dalam”, maka Pemimpin Redaksi bertanggung “ke luar. Dialah yang akan mempertanggungjawabkan berita ke khalayak secara institusional kelembagaan pers.
Itulah sebabnya pula, dalam konsep kerja jurnalistik yang ideal di setiap media massa mainstream, memiliki Forum Redaksi atau Rapat Redaksi yang membahas, mengkaji, menganilisis berita dan informasi, termasuk Rapat Redaksi yang bersifat insidentil, untuk menentukan arah, mana berita yang memiliki “nilai berita” dan mana yang tidak memiliki nilai berita. Artinya, bagi media massa yang menjunjung tinggi profesionalisme, senantiasa menganut prinsip bahwa “Tidak semua informasi adalah berita”.
Sementara Bagian Umum mengemban fungsi sebagai “Industri” yang menjamin “kesehatan” perusahaan, seperti pemasaran, periklanan, manajemen keuangan, bagian sikrkulasi (Media cetak) dan bahkan di media yang berskala nasional, terdapat bagian pengembangan Human Resourh Develpoment (HRD) yang mengemban misi khusus “peningkatan kualitas media”. Kedua organ struktur di media massa (Bagian Redaksi-Bagian Umum) ini, memiliki prinsip-prinsip kerja masing-masing yang secara fungsi dan teknis tidak saling bersinggungan, namun memiliki harmoni yang harus saling mendukung, saling menunjang, berjalan seiring dan selaras.
Yang menjadi persoalan saat ini adalah, kemudahan dalam mendirikan MEDIA ONLINE yang praktis dan murah, telah membawa dampak terhadap menjamurnya media online yang nota bene tidak lagi menghiraukan, memperhatikan dan berpedoman pada konsep kerja jurnalistik yang baku, sebagaimana yang berlaku dan diterapkan di media mainstream.
Sebagai gambaran dan ini menjadi fakta yang cukup memprihatinkan, ada “sebagian kecil” Media Online kita hari ini, yang memiliki ciri-ciri antara lain, seorang pemimpin Redaksi merangkap juga sebagai pemilik perusahaan. Bahkan terkadang, dia juga yang menjadi Wartawan, dia juga yang menyusun berita, dia juga yang turun melakukan lobi untuk iklan dan advetorial, semua pendapatan/penerimaan masuk ke kantong pribadinya, tidak ada adminsitarsi pembukuan, tidak ada rapat redaksi, tidak ada bagian pemasaran, tidak ada bagian iklan, tidak ada redaktur apalagi redaktur pelaksana dan sebagainya. Pokoknya “saya sapi, saya roda”, semua bertumpu dan terpusat pada satu orang yang berkuasa penuh atas media online itu. Ibaratnya, media online itu dikelolanya dengan konsep kerja “pribadi” dengan pola manajemen kaki lima.
Kalaupun, dia merekrut Wartawan, tapi biasanya, Wartawan yang direkrutnya tidak memiliki kompetenesi menyusun berita yang memadai. Prinsipnya yang penting orang itu berani, punya kenderaan dan mau diatur”. Media Online model seperti ini, biasanya memperlakukan Wartawan dengan gaji yang tidak layak, kendati ada honor, tapi biasanya hanya dibayar sesuai dengan jumlah judul berita yang disetor. Itupun jauh dari kata layak. Malah yang lebih parah lagi, pemiliki media online seperti ini, menyuruh Wartawannya untuk menempuh “jalan sendiri” mencari tambahan penghasilan, seperti dia juga yang setiap hari secara mobile mencari penghasilan sendiri kesana-kemari.
Pada akhirnya, media online yang dikelolanya akan menjadi seperti “Siluman”. Ia hadir dengan beritanya pada “tempo-tempo” tertentu dan menghilang pada “tempo-tempo” tertentu pula, tergantung pesanan dan order. Fungsi Pers sebagai pengemban “idealisme” terabaikan. Ia tidak tertarik dengan berita dan informasi yang terkait dengan “kepentingan masyarakat. Kalaupun ada, tapi lebih cenderung mencari sudut lain yang bisa dijadikannya untuk “menghantam” dan menyerang orang lain, terutama pemerintah, yang sarat dengan nuansa “like and dislike”.
Media Online seperti ini biasanya akan muncul dan marak dengan “berita-beritanya” pada prosesi Pilkada, Pemilu atau ketika ada kasus di satu instansi yang hendak digunakan untuk “menekan” atau deal-deal, namun gagal ditengah jalan. Akibatnya, ia selalu saja menguping, mencari-cari celah kesalahan orang lain atau bahkan ia sangat cerdas dalam menciptakan isu-isu yang bersifat “mengadu domba”. Nalarnya akan terus bekerja, melihat, mengamati dan mencermati, “Siapa yang menjadi lawan Siapa”. Dua pihak itulah yang akan selalu diadu domba dengan judul-judul berita yang sensasional, plus konsekwensi-konsekwensi menerima “recehan” dari yang berkepentingan.
Media Online dengan model seperti ini, dari segi penyajian berita, mudah untuk diidentifikasi, yakni beritanya cenderung kritis, namun tidak didukung data dan informasi yang memadai, miskin narasumber, berita bercampur opini, judulnya yang sensasional, tidak berimbang, identik melakukan penghukuman dan penghakiman terhadap mereka yang “dia tidak suka” atau orang yang “enggan” bekerja sama dengannya.
Selain itu dapat diidentifikasi dari caranya “mengulas berita”, biasanya prinsip 5 W + 1 H yang terabaikan, metodelogi penulisan berita dengan “Piramida terbalik” yang tidak nampak dan rangkaian kalimat yang kacau balau, tidak tersistematis, jauh dari kaidah bahasa jurnalistik yang baku.
Dewan Pers sebenarnya mengetahui betul keberadaan Media Online “abal-abal” seperti ini. Hanya saja, Dewan Pers kesulitan dalam melakukan penindakan. Selain itu, secara operasional, Dewan Pers nampaknya, tidak memiliki keleluasaan yang cukup untuk bertindak lebih jauh, apalagi menindak, selain melakukan Verifikasi administratif dan melaksanakan Sertifiaksi Profesi Wartawan. Apalagi, Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, tidak secara spesifik mengatur tentang Media Online, mengingat Undang-Undang tersebut disahkan pada tahun 1999, saat Media Online belum semarak seperti sekarang.
Untuk memaksimalkan peran dan fungsi Pers, sekaligus mencegah merebaknya media online yang abal-abal, liar dan cenderung mendekonstruksi wibawa Pers yang meresahkan, maka terdapat beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan oleh kita semua, Pertama, amandemen terhadap Undang-Undang Pers, sangat mendesak untuk dilakukan, guna menyesuaikan perkembangan dan tuntutan zaman. Kedua, untuk mensosialisasikan, mengkomunikasikan dan mempublikasikan program atau agenda pemerintah daerah, seyogianya, Pemerintah Provinsi, Kab dan Kota, Dinas-dinas dan DPRD, menerbitkan MEDIA INTERNAL sendiri, berupa majalah dan buletin yang dikelola secara profesional. Untuk menangani media internal ini, Pemerintah bisa saja melibatkan atau melakukan rekrutmen tenaga-tenaga profesional dari luar pemerintah yang memiliki kemampuan dan kompetensi di bidang informasi. Terutama keterampilan dalam bidang IT dan penyusunan berita, designer/layouter dsb. Langkah ini diyakini akan lebih efisien. Ketiga, bagi pegiat media online, terdapat beberapa alternatif bidang yang lebih spesifik yang bisa digarap, tidak harus media online yang berkiblat pada kegiatan pemerintah dan atau politik melulu, tapi mulai mencoba menjajaki pendirian media online yang fokus pada satu bidang yang lebih spesifik, seperti media online yang khusus mengulas berita dan informasi tentang seni budaya, Agama, hukum, ekonomi kreatif, kesehatan, ekonomi, dunia usaha, pariwisata, kuliner, olahraga, gaya hidup (life style) dan bidang-bidang lainnya yang sebenarnya masih terbuka lebar untuk diseriusi.
Dengan Demikian, media online akan lebih mandiri, profesional dan berwibawa. Yang terpenting lagi, media online memiliki kontribusi yang besar terhadap kemajuan dan masa depan daerahnya masing-masing. (***).