Oleh : Rasid Yunus
Pengajar Pada Fakultas Ilmu Sosial-UNG
Tempo hari saya pernah berdiskusi dengan teman yang berasal dari desa (saya juga orang desa). Tema diskusi itu macam-macam dan terkadang lompat-lompat dari satu tema ke tema yang lain. Demi kenyamanan komunikasi, saya menikmati perbincangan tersebut dengan penuh antusias. Sepintas yang kami diskusikan adalah hal-hal yang biasa saja. Awalnya hanya membicarakan hal-hal personal (sekedar say hello). Tapi seiring berjalannya waktu ternyata diskusi kami semakin menarik, karena menyentuh level keberadaan desa yang kurang lebih membahas tentang politik desa, ekonomi di desa, sosial budaya, pendidikan, pembangunan desa dan lain sebagainya. Ketika saya amati, teman saya sepertinya menyampaikan keluhan tentang apa yang dia alami dan rasakan di desanya. Teman ini pula menyampaikan bahwa anak-anak muda dari desanya mencari pekerjaan di tempat lain bahkan sampai ke kota (urbanisasi) karena di desanya pekerjaan dan sumber penghidupan sangatlah kurang, serta kehidupan sosial budaya kurang mendukung dalam proses keberlangsungan hidup.
Epistemologi Desa
Desa adalah sebuah kampung kecil dari negara yang masyarakatnya kadang-kadang hidup nyaman, tentaram dan damai. Desa pula merupakan bagian teritori kecil dari negara. Dalam UU No. 6 tahun 2014, desa dan desa adat serta sebutan lainnya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan republik Indonesia.
Paul H. Landis menyebut bahwa desa adalah suatu wilayah yang jumlah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa dengan ciri-ciri seperti; mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa, ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukuan terhadap kebiasaan; cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam sekitar seperti iklim, keadaan alam, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan. Sementara Koentjaraningrat menyebut bahwa desa adalah komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Ulasan tersebut memberi arah bahwa desa adalah kesatuan masyarakat tertentu yang hidup di wilayah yang legal dengan jumlah yang terbatas, diikat oleh kesamaan suku-perasaan dan melangsungkan hidup bergantung pada kondisi alam sekitarnya. Kondisi inilah yang menyebabkan desa merupakan penyuplay kekerabatan yang kuat di suatu negara.
Dinamika Pembangunan Desa
Pembangunan negara tidak akan berhasil denga baik manakala mengabaikan proses pembangunan desa. Pembangunan yang dimaksudkan adalah pembangunan yang bersifat materil/fisik maupun imateril/nonfisik. Proses pembangunan suatu negara dikatakan berhasil jika mampu menyeimbangkan pembangunan perkotaan dan pembangunan pedesaan serta mampu meminimalisir kesenjangan sosial, baik kesenjangan sosial di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab itulah sejak tahun 2014 pemerintahan Jokowi membuat kebijakan tentang dana desa yang setiap tahunnya jumlahnya terus meningkat.
Sejak adanya kebijakan dana desa, desa mulai dilirik oleh banyak orang bukan hanya dalam pembangunan desa tetapi masuk juga politik desa. Liat saja pada saat pemilihan kepala desa dan anggota BPD jarang kita menemukan dua calon, yang ada adalah lebih dari dua calon. Selain itu, hadirnya calon-calon kepala desa dan anggota BPD yang berusia milenial (lahir antara tahun 1982 sampai 2000). Dari hasil pemilihan kepala desa dan anggota BPD serentak yang dilaksanakan 2 tahun terakhir khusus untuk provinsi Gorontalo, beberapa desa menghasilkan kepala desa dan anggota BPD yang berusia milenial.
Fenomena pemimpin muda di desa menarik untuk dikaji. Terutama dikaji dalam dua pendekatan yakni pendekatan pola hidup dan pendekatan gaya hidup. Pola hidup maksudnya kaum milenial melibatkan diri dalam urusan-urusan politik desa bukan karena adanya dana desa, tetapi didasari oleh kesadaran, ketulusan, keikhlasan untuk mengabdikan diri demi membangun desa. Memahami betul tugas dan fungsinya sebagai kepala desa baik dalam konteks politik, kekuasaan, pembangunan dan kebudayaan desa (adat) atau kompetensi serta kecakapannya memadai untuk memimpin desa. Sementara gaya hidup dimana kaum milenial melibatkan diri dalam urusan-urusan politik desa tergiur dengan jumlah dana desa, kurang memahami tugas dan fungsi kepala desa. Akibatnya terjebak pada orientasi mengejar prestise sementara prestasi minim bahkan nihil, mengejar nilai materi, terobsesi program studi banding desa yang outputnya hanyalah berwisata (jalan-jalan) dan segala gaya hidup materi lainnya sementara rakyat di desanya dibiarkan begitu-begitu saja. Untuk itu, menarik untuk dinanti kiprah dan hasil kepemimpin kaum milenial di desa.
Keberadaan dana desa saat ini mengakibatkan 2 implikasi sekaligus. Jika desa berhasil mengelola dana desanya dengan baik melalui BUMDes dan beberapa program lain maka pasti hasilnya akan dirasakan baik oleh masyarakat. Sebaliknya jika desa dianggap tidak berhasil mengelola desa terutama pemanfaatan dana desa maka desa tersebut akan menambah beban keuangan negara. Kita tentu mengetahui dan menyaksikan beberapa desa sampai GO Internasional karena keberhasilan mengelola dana desa melalui BUMDes dan usahaya kreatif lainnya. Kisah tentang desa Ponggok di Jawa Tengah yang berhasil mengelola BUMDes dengan meningkatkan kesejahteraan melalui perdagangan, kemudian membukukan keuntungan sebanyak RP 10 milyar dalam jangka waktu 1 tahun. Kemudian keberhasilan desa Maregan yang berada di Tidore Kepulauan melalui BUMDesnya mewakili Indonesia diantara 19 desa lainnya dalam kegiatan Expo Pameran Unggulan Desa yang dipamerkan pada acara Indonesia Archipelago Exchebition (ARCHEX) di Kuala Lumpur Malaysia pada tanggal 3 April tahun 2018, serta beberapa kisah desa lain yang dianggap berhasil mengembangkan desanya.
Disamping prestasi itu, ternyata penggunaan dana desa menyisahkan banyak masalah. Laporan ICW pada bulan November 2018 tentang kasus korupsi dana desa yaitu sebanyak 181 kasus, yang disinyalir merugikan negara sekitar RP 40.6 miliyar. Kemudian kepala desa yang ditangkap oleh penegak hukum sejumlah 900 orang karena menyalahgunakan dana desa dan terlibat dalam kasus lainnya. Miris rasanya fakta ini. Seharusnya dana tersebut untuk program pembangunan desa, malah dinikmati secara individual maupun sekelompok orang.
Jika diamati, pembangunan desa terutama penggunaan dana desa banyak diperuntukkan pada program pembangunan yang sifatnya materi (fisik). Prestasi-prestasi yang tersaji sebelumnya memuat tentang keberhasilan desa dalam membangun yang bersifat fisik. Memang itu tidak salah. Akan tetapi, disamping pembangunan fisik hal yang penting dan harus mendapatkan perhatian serius adalah pembangunan nonfisik (pembangunan imateril). Begitupun dalam UU no 6 tahun 2014 tentang desa menyuratkan serta menyiratkan pembangunan yang bersifat nonfisik. Pembangunan nonfisik adalah pembangunan yang memfokuskan pada penguatan mental, tabiat, karakter dan pendidikan masyarakat. Pembangunan nonfisik merupakan pembangunan yang berbasiskan pada sosial kapital (modal sosial) masyarakat. Fukuyama membagi dua bagian yang bisa ditemukan dalam definisi modal sosial yaitu; (1) modal sosial merujuk pada kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya; (2) modal sosial adalah serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama diantara mereka. Modal sosial pula yang merawat bagaimana kesadaran-geneologis, kesadaran-sejarah dan kesadaran-kolektif masyarakat desa tetap terjaga. Kesadaran inilah yang melatar belakangi masyarakat desa walaupun berbeda pilihan politik dalam pemilihan kepala desa dan anggota BPD, namun masyarakat tetap aman, melebur dan menyatu kembali pasca pemilihan kepala desa dan anggota BPD yang baru.
Tugas kepala desa bukan hanya menyiapkan fasilitas fisik desa, tetapi mempelajari, merawat, membangkitkan semangat kolektifitas masyarakat desa untuk membangun desa. Mendorong masyarakat desa agar bermental optimis, berpegang teguh pada warisan budaya, menghadirkan pola kebudayaan baru yang produktif, membiasakan mindset masyarakat desa kearah yang inovatif tanpa harus mengandalkan kekuatan materi. Desain pembangunan yang bersifat fisik maupun nonfisik merupakan konsep pembangunan yang komprehensif. Jika konsep ini diabaikan maka hasil pembangunan dipastikan tidak sesuai harapan, dan takutnya seperti yang dikatakan oleh Sach dimana pembangunan seperti ini (maksudnya hanya pembangunan fisik) akan melahirkan khayalan, kekecewaan, kegagalan dan kejahatan. Olehnya, paradigma pembangunan harus mengikuti zamannya tanpa mengabaikan kebudayaan dan nilai-nilai lokalnya. Semoga bermanfaat.