oleh : Ali Mobiliu
GORONTALO GEMILANG (barometernewsgo.com)-Benci atau kebencian adalah gambaran emosi yang melambangkan ketidaksukaan, permusuhan atau antipati seseorang kepada orang lain. Sigmund Freud, seorang pakar Psikoanalisis mendefinisikan benci sebagai keadaan “ego” yang ingin menghancurkan sumber ketidakbahagiaannya. Perasaan benci menghasilkan hal-hal yang sama sekali tidak tidak positif bagi diri sendiri dan bisa memicu tindakan atau perbuatan destruktif. Itulah sebabanya, dalam perspektif agama manapun, kebencian adalah sikap yang harus dieliminir dari setiap kalbu seseorang, karena kebencian cenderung menolak kebenaran.
Dalam konteks yang lebih sepesifik, jika melihat fenomena yang menggejala saat ini, terutama menjelang perhelatan Pilkada di Kab. Gorontalo yang dikorelasikan dengan teori Sigmend Freud di atas, maka sudah dapat dipastikan bahwa di Kab. Gorontalo saat ini,ada yang mulai “tidak bahagia” ada yang nampak cemas” dan ada yang cenderung risau dengan “performance” pemerintahan Prof. Nelson yang ternyata mampu melahirkan karya-karya monumental yang pada tahun 2020, keseluruhan karya dan kinerja Prof. Nelson itu akan terlihat secara vulgar.
Mulai dari perubahan wajah ibukota Limboto dengan hadirnya Taman Budaya Limboto, pembangunan pasar Kayubulan, rencana pembangunan Shopping Centre, penataan Pakaya Tower buah kolaborasi dengan Rahmat Gobel, pembangunan sirkuit atau Road Race di Limboto, pembangunan Rumah Sakit Boliyohuto, pembangunan pusat konservasi Budaya di Talumelito, penataan Pentadio Resort, pembangunan rumah Layak Huni (Mahyani) yang sudah mencapai 10 ribu unit, rencana pembangunan Tugu atau monumen perdamaian “Popa Eyato”, pembangunan 2 unit Rumah Susun Sewa yang kini tampil megah di 2 lokasi, pembangunan Pelabuhan Bilato sebagai pusat perekonomian baru di bagian selatan Gorontalo, pencanangan Integrated Farming System (IFS) di Bongohualwa, pencanangan Limboto sebagai Satelit Pendidikan di Gorontalo. Rencana pembangunan Foodcourt di bawah menara dengan air mancunya yang kelak akan mengubah wajah ibukota Limboto, semua keberhasilan itu terus merangsang ketidakbahagiaan yang merisaukan bagi mereka para “pembenci” yang sejak awal tidak suka dan tidak menginginkan Prof. Nelson memimpin Kab. Gorontalo.
Demikian juga dengan prestasi pertumbuhan ekonomi yang mencapai hampir 7 persen, menurunnya angka kemiskinan dari 22 persen menjadi 19 persen dalam 3 tahun, penurunan angka pengangguran, meningkatnya investasi di Kab. Gorontalo yang pada tahun 2016 hanya Rp. 150 milyar menjadi Rp.1.8 trilyun lebih pada 2018, meningkatnya jumlah APBD yang 2015 hanya Rp. 1,2 trilyun menjadi 1.5 trilyun pada tahun 2018, penurunan angka stunting, prestasi capaian RPJMD yang begitu cepat, yakni baru 3 tahun (60 persen) memimpin namun capaian RPJMD sudah mencapai 82 persen dan kiprah pembangunan yang progresif lainnya, semua itu menjadi catatan sekaligus prestasi yang menuai apresiasi dari berbagai kalangan. Jika dibandingkan dengan pemerintahan periode sebelumnya, kiprah Prof. Nelson dalam 3 tahun, sudah mampu melampui prestasi pemerintahan selama 10 tahun sebelumnya. Itulah yang disebut dengan gemilang, yakni mampu melampaui prestasi pemerintahan sebelumnya dan mampu melampaui target-target yang ditetapkan.
Hanya saja, fenomena semakin hangatnya tensi politik di Kab. Gorontalo hari ini, selain karena faktor jelang Pilkada, juga tidak terlepas dari faktor keberadaan para “pembenci dan mereka yang sekadar “tidak suka”. Adapun, kebencian dan ketidaksukaan itu dipicu oleh ketidakbahagiaan terhadap dua hal, yakni pertama, ketidakbahagiaan atas prestasi dan keberhasilan Bupati Prof. Nelson yang dapat memicu melemahnya “bargaining” orang-orang tertentu atau jagoan mereka di pentas politik. Kedua, Kerisauan terhadap kondisi internal mereka sendiri akibat mahalnya “ongkos politik” baik dari mereka yang memiliki cukup “amunisi” maupun mereka yang berkantong tipis alias “kere”. Disisi yang lain, ambisi untuk merengkuh kekuasaan semakin menggebu-gebu.
Antara ambisi dan ketidakbahagiaan itu akan terus berakumulasi dan mengkristal menjadi benih “kebencian dan ketidaksukaan” terhadap sosok yang berprestasi. Apalagi, sikap Bupati Prof. Nelson yang terus dipancing dan diserang, namun tetap diam dan fokus bekerja, membuat mereka semakin frustrasi.
Secara psikologis, orang yang frustrasi ditengah ambisi yang menggebu-gebu, tidak akan pernah diam. Ia bahkan akan berubah dan menjelma menjadi “dalang” yang nekad memainkan “wayang” yang setiap saat selalu mencari cara dan celah kesalahan, sekecil apapun itu akan terus dimainkan. Menariknya, “Dalang” tidak setiap hari muncul ke permukaan, melainkan kucuran “Fulus” yang terus saja disedot “wayang” agar selalu muncul untuk bekerja bagi sang dalang itu tentunya.
Itulah sedikitnya gambaran yang turut mewarnai pemerintahan Bupati prof. Nelson saat ini. Sang Deklarator Provinsi Gorontalo itu tengah berada dalam pusaran mereka yang sekadar “benci” dan tidak suka” yang terus saja memainkan isu dan menggulirkan manuver-manuver dengan sasaran utama “medekonstruksi” performance keberhasilan pemerintahan Prof. Nelson.
Sementara mereka lupa bahwa masyarakat saat ini sebenarnya sudah cerdas, yakni sudah bisa membaca dan melihat secara jeli, siapa yang benar-benar tulus mengkritisi dan menyuarakan aspirasi masyarakat dan mana kritik yang dibalut rasa benci dan sekadar tidak suka. Keduanya sangat mudah untuk dibedakan. Bagaimanapun, secara kolektif, masyarakat menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan di manapun di dunia ini, senantiasa menghadirkan dua sisi yang berbeda, ada kelebihan dan ada kekurangan. Bagi masyarakat yang cerdas dan rasional, kelebihan dan prestasi pemerintah harus diungkap dan diapresiasi, sementara kekurangan dan kesalahan harus dikritik secara konstruktif. Itu idealnya.
Namun tidak demikian bagi para “pembenci dan mereka yang sekadar “tidak suka”. Mereka tidak akan pernah mau menerima kebenaran dan berusaha untuk terus menutupi keberhasilan seseorang. Dari sinilah kegaduhan itu muncul ke permukaan. Oleh karena itu, sia-sia dan tidak ada gunanya untuk berdebat apalagi mengajak debat dengan para “pembenci” dan orang-orangnya, karena hal itu hanya akan menguras energi. Artinya, apapaun kebenaran dan fakta yang disajikan di hadapan pembenci tidak akan pernah mempan.
Dari berbagai kegaduhan, tudingan dan fitnah yang terus digulirkan oleh para pembenci dan mereka yang dirundung “ketidakbahagiaan” selama ini, terdapat hikmah yang patut diapresiasi dari seorang Bupati Prof. Nelson, yakni ungkapan yang mengandung pembelajaran, bahwa “Menanam padi sudah pasti akan tumbuh rumput, tapi menanam rumput jangan berharap tumbuh padi”. Itulah prinsip yang menurutnya menjadi penyemangat bagi siapapun yang hendak berbuat, bekerja dan berkarya. Artinya, Prof. Nelson hendak mengajarkan kepada siapapun, bahwa dalam hidup ini, kebaikan seberapa pun banyaknya terkadang tidak dihargai, tapi satu kesalahan justru akan terus dipersoalkan. Itulah sebabnya, bekerja dan terus berkarya ditengah badai adalah pilihan yang bijak.
Sebagai penutup, satu hal yang selama ini tidak pernah terungkap bahwa, motif utama mengapa Bupati Prof. Nelson memiliki semangat kerja yang tinggi selama ini? Selain karena tuntutan dan manifestasi kepeduliannya terhadap masa depan Kab. Gorontalo, juga karena faktor masa lalu Kab. Gorontalo. Terutama dalam 10 tahun periode sebelumnya. Untuk itu, ia harus memacu program dan kebijakannya dengan speed dua kali lipat lebih cepat. Sasarannya tidak lain adalah, sebagai upaya kompensasi untuk menutupi periode 10 tahun yang sia-sia, statis dan hampir tidak ada capaian monumental ketika itu. Bagi orang yang bijaksana, kesia-siaan periode-periode lalu tidak perlu diungkap ke publik, tidak perlu disesali tapi harus dikompensasi dan ditutupi dengan kerja cepat, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Itulah sebabnya pula, Bupati Prof. Nelson tidak pernah mau menghiraukan “rumput-rumput” yang mencoba menghalau tumbuhnya kemajuan dan masa depan Kab. Gorontalo karena hal itu hanya akan menguras energi yang semstinya dicurahkan untuk membangun dan berkarya. (***)