KHITTAH NU DAN “IJTIHAD POLITIK” KAUM NAHDLIYYIN

958
0

Oleh : Muchlis S. Huntua, S. Ag, M. Si
(Sekretaris NU Cabang Kota Gorontalo saat ini menjabat Ketua Senat / Plt. Wakil Rektor 1 Universitas NU Gorontalo)

Dalam dunia politik di Indonesia, khususnya di kalangan kaum Nahdliyin, istilah khittah sudah sangat akrab dan dikenal luas sebagai sebuah “patron” dalam politik Ahlussunah Waljama’ah.

Kata Khittah berasal dari akar kata “khaththa”, yang bermakna menulis dan merencanakan. Istilah ini selanjutnya berkembang menjadi “khiththah’ yang bermakna garis dan thariqah atau jalan.

Dengan begitu dapat dimaknai, bahwa Khittah adalah jalan yang terbentang luas bagi kaum Nahdliyin untuk berperan dan berkiprah bagi tegaknya Dinnul Islam di satu sisi dan kemaslahatan ummat di sisi yang lain.

Oleh karena itu, Khittah Nahdlatul Ulama (NU) dapat dimaknai sebagai spirit perjuangan kaum Nahdliyin sekaligus menjadi pedoman berpikir, bersikap, dan berperilaku bagi warga NU di dalam berkhidmat di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mengutip pernyataan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar NU, H. Rumadi Ahmad, bahwa Khittah NU tidak cukup hanya dipandang dari satu aspek saja, melainkan dari keseluruhan ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk yang terpenting adalah ranah politik di Indonesia.

Jika mengutip pernyataan Musytasar PBNU KH. Ma’ruf Amin yang saat ini memangku jabatan Wakil Presiden RI, Khittah itu sifatnya permanen, yakni melakukan perbaikan-perbaikan bagi kemaslahatan ummat.

Hal itu sejalan dengan nilai dan semangat pemikiran Hadrastussyekh KH. Hasyim Asy’ari yang mengatakan, bahwa organisasi NU sebagai “Jam’iatus Islah”, yakni organisasi perbaikan, baik dalam aspek keagamaan maupun keumatan atau kemasyarakatan.

Oleh karena itu, Khittah NU sebagai organisasi Islam, dapat disebut sebagai penuntun umat pada kebaikan. Ketika warga Nahdliyin misalnya, memilih jalur politik sebagai basis perjuangan dan gerakannya, maka garis politiknya diharapkan senantiasa merujuk pada Khittah NU sebagai “penuntun” yakni berjuang dan bekerja sepenuh hati bagi kemaslahatan ummat.

Khittah NU yang terkadang juga, disebut sebagai Khittah 26, merujuk pada semangat pendirian organisasi Nahdlatul Ulama yang dipelopori KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1926, sebagai organisasi gerakan sosial-keagamaan yang meliputi 4 prinsip Aswaja, yakni tawasul atau sikap tengahan dan i’tidal (berbuat adil) kemudian tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang) dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia, dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran).

Gerakan perjuangan ini kemudian mengalami perubahan yang sangat luas dan fundamental setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang membawa kader-kader dari NU lebih banyak atau boleh disebut “tergoda” masuk dalam gerakan politik praktis.

Puncaknya pada tahun 1952, lahirlah Partai Politik Nahdlatul Ulama yang menjadi konstestan Pemilu pada tahun 1955. Pada Pemilu kala itu, Partai NU berada pada posisi 3 besar dalam perolehan suara setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi.

Memasuki era Orde Baru, terutama pada Pemilu 1971 melalui kebijakan penyederhanaan partai politik oleh Presiden Soeharto, maka PNU dan Partai Islam lainnya meleburkan diri ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Namun dalam perjalanannya, kiprah kader NU yang kebanyakan berijtihad dalam gerakan keagamaan dan sosial kemasyarakatan melalui jalur “politik” ini, rupanya cukup “meresahkan” bagi sebagian kalangan NU.

Alasan utama munculnya “keresahan” itu didasarkan pada kenyataan, bahwa elit-elit politik NU selama ini, tidak lagi fokus atau cenderung mengabaikan pembangunan sosial keagamaan dan sosial keumatan yang pada akhirnya menyebabkan pengembangan ekonomi, pendidikan dan pembinaan ummat yang menjadi marwah pendirian NU pada tahun 1926, menjadi terabaikan.

Oleh karena itu, sebagian ulama yang cukup resah dengan kondisi tersebut, seolah hendak menggugah dan mengajak seluruh kader NU untuk kembali fokus pada spirit perjuangan dan gerakan sosial keagamaan dengan “kembali ke Khittah NU”.

Khittah merupakan ruh, jiwa, semangat dan garis perjuangan yang menetapkan konsistensi dan independensi NU sebagi sosok organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah Diniyah Ijtima’iyah). Ini berarti NU kembali menjadi organisasi yang aktivitas dan gerakannya dalam bidang sosial keagamaan dan meninggalkan arena percaturan dan pertarungan politik praktis.

NU menyatakan keputusannya secara tegas bahwa tidak lagi mempunyai ikatan politik dengan orsospol (organisasi sosial politik). Namun disisi lain, NU memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para anggota dan warganya untuk menyalurkan aspirasi politik kepada osrsospol yang menjadi pilihannya.

Gerakan untuk “kembali ke Khittah NU” ini mulai nyaring disuarakan pada era tahun 1950-an pada setiap kali Muktamar NU dilaksanakan.

Puncaknya terjadi pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Saat itu, terbentuklah sebuah Komisi Pemulihan Khittah NU yang berhasil merumuskan berbagai maklumat tentang bagaimana memurnikan Khittah NU sebagai gerakan sosial keagamaan yang sejatinya tetaplah fokus dan konsisten mengurus masalah-masalah ummat.

Sayangnya, sekeras apapun seruan untuk kembali ke Khittah NU itu disuarakan, namun nampaknya hasrat politik sebagian kader NU tetap sulit terbendung. Buktinya seruan untuk kembali ke Khittah NU itu tetap tidak terakomodir sebagai sebuah keputusan resmi Muktamar.

Kembalinya NU ke Khittah 1926 memberikan peluang dan kesempatan kepada tokoh tokoh NU secara individu aktif dalam kepengurusan partai politik tertentu. Ini berarti tokoh tokoh NU dibolehkan aktif di partai politik yang menjadi pilihan, asal tidak mengatasnamakan atau membawa bendera NU. Dengan demikian, independensi dan netralitas NU sebagai sosok organisasi sosial keagamaan kemasyarakatan tetap terjaga.

Hal itu sekaligus menunjukkan, bahwa ijtihad gerakan sosial keagamaan kader NU melalui jalur politik, tetap ‘dihalalkan’ secara organisasi dengan catatan agar gerakan politik NU tetap berorientasi dan berbasis pada gerakan sosial keagamaan dan kemasyarakatan, nasionalisme dan kebangsaan.

Itulah sebabnya, kader-kader NU dalam historis dan perkembangannya, tetap konsisten untuk berkhikmad dalam gerakan politik. Salah satunya yang paling monumental adalah berdirinya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabi’ul Awal 1419 Hijriyah) yang dideklarasikan oleh para kiai-kiai Nahdlatul Ulama, seperti KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur) cucu pendiri NU, KH Munasir Ali, Ilyas Ruhiat, A. Mustofa Bisri, KH Zuhdi Fatkur dan A. Muhith Muzadi dan ulama kharismatik lainnya.

Dari pemaparan diatas, maka terdapat beberapa instrumen yang telah telah menjadi pertanyaan untuk diajukan, dalam kerangka partisipasi politik NU terhadap manifestasi Khittah NU untuk sosial – keagamaan, nasionalisme dan kebangsaan.

Pertama, secara nasional, seberapa besarkah partisipasi masyarakat terhadap konstalasi politik dan eksistensi partai politik yang berbasis NU seperti PKB dalam setiap Pemilu di Indonesia?

Kedua, seberapa besarkah kontribusi politik NU terhadap gerakan memurnikan Khittah NU dalam kaitannya dengan kepentingan dan kemaslahatan ummat di Indonesia?

Jika merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan suara PKB secara nasional pada Pemilu tahun 1999 – 2019, dibandingkan dengan populasi masyarakat pemilih yang berlatar belakang NU, maka boleh disebut masih belum signifikan, jika dibandingkan dengan partai nasionalis lainnya.

Pada Pemilu tahun 1999 misalnya, jumlah perolehan suara PKB hanya pada kisaran 13,2 juta suara atau 12,62 persen suara sah nasional. Tahun 2004 menyusut menjadi hanya 11,99 juta suara atau 10,56 suara sah nasional. Bahkan pada Pemilu tahun 2009 Perolehan suara PKB turun hingga tinggal menjadi 5,15 juta suara atau 4,95 persen suara sah nasional.

Perolehan suara PKB berhasil meningkat menjadi 11,29 juta suara atau 9,04 persen pada Pemilu 2014. Jumlah tersebut kembali bertambah menjadi 13,57 juta suara atau 9,69 persen suara sah nasional pada Pemilu 2019.

Jika mengacu pada jumlah warga NU yang mencapai populasi hampir 100 juta orang di negeri ini, maka perolehan suara PKB sebagai “kenderaan politik” NU belumlah dikatakan maksimal. Ini menunjukkan, bahwa sebagian besar warga NU lebih memilih dan berijtihad dalam gerakan politik di partai – partai besar yang ada seperti PPP, PDIP, Golkar dan partai lainnya. Realita ini mengisyaratkan, bahwa patron politik warga NU saat ini cukup dinamis dan sulit terkoopetasi dalam ‘politik identitas’ atau ‘politik kultus yang feodalis.’

Jika kita membaca peta politik di daerah Provinsi Gorontalo, kita dapat melihat meski daerah ini boleh disebut sebagai kantong kaum warga Nahdliyin, namun dalam setiap kali Pemilu, terdapat nuansa yang berbeda, yakni pilihan suara kaum Nahdliyin cenderung lebih moderat. Buktinya, pada Pemilu tahun 1955, Partai NU berada di urutan nomor 2 setelah Masyumi. Selanjutnya pada era Orde Baru, PPP sebagai partai wadah alternatif NU selalu berada di nomor urut 2 dan pada era Reformasi, nampaknya warga NU masih lebih dominan memilih berada di Partai Golkar, PPP, PDIP, Nasdem dan partai lainnya. Bahkan pada Pemilu kemarin tahun 2019, kursi PKB sebagai representasi dari NU di DPRD Provinsi Gorontalo, hanya mendapatkan 1 kursi dari Daerah Pemilihan Pohuwato – Boalemo. Meski demikian, sebaliknya bisa kita melihat di tingkat elit kekuasaan (birokrasi), NU tetap mendominasi kursi eksekutif di Provinsi Gorontalo.

Dari komposisi perolehan suara secara nasional dan di daerah tersebut di atas menunjukkan, bahwa pilihan politik kaum Nahdliyin lebih cenderung bebas dan tidak terikat yang justru lebih sehat dan prospektif di masa depan. Yang penting menjadi rujukan, adalah identitas ke-NU-annya yang berkhitah pada gerakan sosial – keagamaan demi kepentingan dan kemaslahatan ummat tetap melekat kuat dalam sanubari warga Nahdliyyin. Artinya, warga nadhliyin saat ini boleh saja multi warna, tapi tetap untuk satu tujuan dan kepentingan demi kemaslahatan ummat. “NU ada dimana mana, tapi tidak kemana mana.”

Dilihat dari perspektif politik, pemberian kebebasan oleh NU kepada warganya untuk menyalurkan aspirasi politik, ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk gerakan “pendidikan politik” yang selanjutnya mengacu kepada terjadinya “proses demokratisasi politik” warga Nahdliyyin.

Olehnya, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, adalah, sejauhmana kontribusi dan keberpihakan politik dari para politisi NU dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah terhadap kepentingan dan kemaslahatan ummat, mulai dari pembangunan ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan dan sebagainya, termasuk perkembangan lembaga-lembaga ekonomi NU, lembaga pendidikan NU, institusi kesehatan NU dan sebagainya, karena realitas masyarakat arus bawah adalah mayoritas warga NU juga yang perlu mendapat perhatian dalam hal pemberdayaan dan peningkatan kualitas kesejahteraannya.

Hal ini ke depan perlu menjadi catatan penting, yang selanjutnya sebagai sebuah ormas sosial keagamaan terbesar untuk dinilai dan dievaluasi secara komprehensif, jujur dan apa-adanya agar “ijtihad politik” gerakan Khittah NU dapat disajikan secara jujur dan terukur. Bahwa sikap tindakan NU dalam berpolitik sama sekali bukan tanpa prinsip, NU sebenarnya selalu konsisten berpegang pada ideologi politik keagamaan yang meletakkan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap posisi Islam dan ke Indonesiaan. Wallahul Muwaffiq.(**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here