Pilkada Pohuwato, Antara Kualitas Demokrasi dan Netralitas ASN

1709
0

Oleh: Mirnawaty Modanggu, S.Ag., M.Pd

Pesta Demokrasi, hendaknya menjadi media dan momentum pertarungan gagasan, ide serta peran pembangunan daerah. Demokrasi yang sehat, rasionalitas pemilih dan netralitas birokrasi menjadi pilar penting dalam mewujudkan semua hal tersebut.

Tantangan kita bukan hanya sekedar peningkatan partisipasi pemilih secara kuantitatif, tetapi yang lebih substantif dari itu semua adalah mampukah penyelenggara pemerintahan dalam hal ini pimpinan daerah dan semua Aparatur Sipil Negara sebagai birokrasi menciptakan iklim demokrasi yang sehat ?, mampukah pemerintah memposisikan diri sebagai institusi yang melindungi hak pilih rakyatnya tanpa memanfaatkan fasilitas dan aparat negara untuk kepentingan politik kelompok tertentu ?, mampukah Pimpinan Daerah memisahkan dirinya antara tanggungjawab dalam jabatan publik dengan posisinya sebagai petugas partai ?

Jika berbagai pertanyaan mendasar tersebut tidak mampu dijawab dan dipertanggungjawabkan, maka resesi, anomali dan paradoks demokrasi akan terjadi juga di daerah tercinta ini. Berbagai indikator menguatkan asumsi akan ancaman tersebut. Diantaranya :

1) Adanya keputusan MK dan Dikukuhkannya undang-undang tentang pemilihan kepala daerah yang tidak ada lagi larangannya bagi politik Dinasti

2) Ancaman netralitas birokrasi (ASN) dengan berbagai modus, utamanya dalam daerah dimana keluarga petahana ikut menjadi kandidat

3) Politik uang

Dalam konteks tersebut, masyarakat akan menilai sejauhmana kualitas demokrasi itu dibangun oleh pemimpin daerah. Sebagai mantan Ketua KPU Kabupaten Pohuwato, saya berharap agar kualitas demokrasi ini benar-benar mampu dijaga. Apresiasi saya sampaikan kepada Bupati Pohuwato, yang dalam realese beberapa media online, melaksanakan suatu kegiatan penandatanganan ”PAKTA INTEGRITAS NETRALITAS ASN DALAM PILKADA”. Akan tetapi, tentunya tidak cukup sampai disitu. Masih ada tandatanya besar yang harus dijawab oleh pemerintah daerah, bukan dalam bentuk argumentasi saja akan tetapi dalam bentuk pelaksanaan dilapangannya. Seperti :

1) Sanksi pidana dan sanksi kepegawaian yang tegas terhadap ASN yang tidak netral tanpa “PANDANG BULU” dan tidak terkesan menghantam dan menghabisi ketidak netralan pada “KELOMPOK TERTENTU SAJA”, serta “melakukan pembiaran pada kelompok lainnya”

2) Menghentikan sementara bantuan sosial yang bernuansa dan bermodus kampanye terselubung pada saat-saat menjelang pemungutan suara. Meskipun secara aturan tidak dilarang, namun syarat kepentingan “conflict of Interest” dan sangat tidak “etis”

3) Dua variabel kunci, yang sampai saat ini tidak mampu dijawab dalam regulasi netralitas ASN dan menempatkan ASN pada Posisi dilematis adalah :1). Kewajiban bawahan mengikuti perintah atasan dalam modus kegiatan berorientasi kepentingan masyarakat padahal terselubung muatan kepentingan politik kelompok tertentu, dan 2). Masalah promosi jabatan dan mutasi pegawai yang tidak transparan serta tidak jelas indikator penilaiannya. Untuk saat ini, Kedua variabel tersebut tidak dapat di antisipasi dengan regulasi yang ada. Sehingga sangat membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan berfikir dan bertindak seorang pemimpin daerah sebagai user (pengguna) keahlian para ASN tersebut.

Pada ahkirnya saya berharap, upaya produktif dan baik dari pemerintah daerah dalam menggagas kegiatan bertajuk “Penandatanganan Pakta Integritas Netralitas ASN”, tidak hanya berakhir secara seremonial dan terkesan menggugurkan kewajiban saja. Karena hal tersebut belumlah sebuah bukti konkrit dari sikap ”Profesionalisme”, melainkan barulah merupakan langkah awal yang harus dibuktikan lebih jauh dengan KOMITMEN MORAL yang akan di uji dilapangan nantinya. SEKALI LAGI Semuanya akan kita uji bersama, dan masyarakatlah yang akan menilainya.(**)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here