Di era demokrasi saat ini, siapapun kita mendambakan terwujudnya iklim perpolitikan yang sejuk, sehat, mencerahkan dan mengandung muatan edukasi politik untuk khalayak publik. Sejatinya, arena politik atau perhelatan demokrasi, menjadi wahana yang tepat bagi para politisi untuk bertarung, berlomba dan beradu argumen dalam menawarkan konsep, program dan strategi dalam kerangka mewujudkan pembangunan dan kemaslahatan masyarakat. Biarlah masyarakat yang menilai, menyimpulkan, memutuskan dan menentukan mana yang terbaik.
Namun di dunia politik kita hari ini, apalagi pada moment-moment seperti saat ini, jelang Pilkada serentak yang dijadwalkan Desember 2020 mendatang, mulai ada nuansa dan gejala politik yang tidak sehat, tengah berhembus dan dihembuskan. Oleh siapa? Oleh mereka yang hanya sekadar mengejar ambisi kekuasan, tanpa menghiraukan nilai-nilai ideal dalam berdemokrasi. Akibatnya, nuansa politik yang menghasut, fitnah keji, manuver politik adu domba mulai menggejala yang pada akhirnya mengaburkan “hakekat” politik itu sendiri.
Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya, ya… karena tidak bisa dipungkiri, ada juga politisi yang hanya sekadar punya ambisi, tapi tidak cukup memiliki “modal sosial” yang kuat yang dia bisa tawarkan ke khalayak publik. Sementara di sisi yang lain, seorang politisi itu dituntut harus punya modal besar, minimal, punya kredbilitas, punya integritas dan punya isi tas”.
Akhirnya, model politisi seperti itu, akan selalu tampil dengan performance politik yang berlumur dosa, sikut sana-sikut sini, fitnah sana, fitnah sini, melakukan manuver “terlarang” dengan cara-cara yang tidak lazim. Artinya, politisi eperti ini, bukan tampil sebagai politisi yang mencerahkan malah menyesatkan dan mencemari alam pikir khalayak publik.
Lantas, siapa yang menjadi sasaran manuver dan intrik-intrik kotor dari politisi model seperti ini? Siapa lagi kalau bukan rivalnya yang lebih unggul dan memiliki “modal sosial” yang kuat yang punya prestasi, yang punya rekam jejak karya dan karsa yang terlihat dengan begitu jelasnya. Dengan asumsi lain, Politisi yang memiliki “modal sosial” yang kuat inilah yang bakal “babak belur” dihajar oleh politisi yang sekadar punya ambisi.
Dalam konteks jelang Pilkada di Kab. Gorontalo misalnya, bagi mereka yang masih jujur pada dirinya sendiri, sudah bisa membayangkan siapa tokoh yang akan babak belur dihajar dan dianiaya secara politik oleh “rival-rivalnya”. Karena sesungguhnya, politik itu pada akhirnya bertumpu pada “membanding-bandingkan”.
Jika dibandingkan dengan calon-calon lain yang konon disebut-sebut akan maju di Pilkada Kab. Gorontalo, sejauh ini belum ada nama yang diwacanakan yang nampaknya sepadan dengan Bupati Nelson. Lebih jelasnya, jika disandingkan dengan hati yang jujur dan apa-adanya, nama-nama yang sejauh ini muncul yang diwacanakan maju sebagai calon Bupati, nampaknya, masih Nelson Pomalingo yang lebih unggul, ditinjau dari aspek manapun. Dari segi prestasi, kinerja, rekam jejak karya dan karsa untuk Gorontalo, Nelson yang sejauh ini masih bertengger di papan atas.
Tidak heran, jika detik-detik menjelang Pilakda sekarang, Bupati Nelson yang masih fokus bekerja menyelesaikan tugas-tugasnya, sudah mulai dibidik dengan rentetan isu-isu miring beserta manuver-manuver politik yang mengada-ada. Bila diIbaratkan seperti pohon mangga, Nelson saat ini tengah berbuah lebat dengan buahnya yang besar-besar yang nampak “hijau-menguning”, sehingga wajar jika mulai ada yang mencoba melemparinya, bahkan terkesan sudah ada “Tutuhi” yang sudah mulai dimainkan untuk “moluhi-luhi” Bupati Nelson.
Sayangnya, karena belum ada “lawan yang pasti” di perhelatan Pilkada, sehingga Nelson saat ini masih diibaratkan tengah menghadapi musuh yang masih berwujud seperti “hantu”. Aura keberadaannya ada, namun tidak terlihat. Tidak heran, jika “Tutuhi” seperti bergerak sendiri dan itu sebenarnya menyeramkan.
Tidak perlu dijelaskan sekalipun, fenomena “Tutuhiya”, itu seperti apa, khalayak publik sudah pasti paham. Tidak ada di dunia ini yang melempari dan “he-moluhi” pohon mangga yang tidak berbuah, yang selalu menggejala, adalah mangga yang berbuah lebat itulah yang selalu dilempari dan “dituhi”. Apalagi buahnya yang sudah nampak hijau dan kuning, begitu menyilaukan bagi yang melihatnya.(Ali Mobiliu)