Oleh : Sahrain Bumulo
(Pengajar di Jurusan Sosiologi FIS-UNG)
Sejak UU Desa disahkan, polemik tentang desa tak kunjung selesai hingga saat ini. Perbincangan paling hangat pasca disahkannya UU Desa adalah seputar penggunaan Dana Desa dan Tata Kelola pembangunan desa. Sejalan dengan amanah UU Desa, dana desa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, membantu dalam menanggulangi kemiskinan, serta meratanya pembangunan di wilayah pedesaan. Namun sampai saat ini, belum terlihat perubahan yang signifikan, dimana kemiskinan masih terpusat di desa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih terpusat di desa dibandingkan di kota. Merujuk data BPS 2019, diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 9,99 juta orang. Sementara di daerah perdesaan sebanyak 15,15 juta orang.
Apa yang Salah Dengan Tata Kelola Desa?
Jika kita evaluasi, lima tahun perjalanan UU Desa, korupsi dana desa menambah daftar panjang kasus korupsi di Indonesia. Dilansir dari detik news, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 252 kasus korupsi anggaran desa sepanjang tahun 2015-2018. Bahkan, belum lama ini, di Gorontalo beredar berita terkait kasus korupsi dana desa. Perlu ditangani serius perihal permasalahan ini, agar ke depan virus-virus korupsi dana desa tidak terjangkit ke desa lainnya di Gorontalo. Pada konteks lain, perlu dipertanyakan juga bagaimana kesiapan pemerintah desa dalam penyusunan draft tata kelola pembangunan desa, serta rencana strategi pembangunan desa ke depan. Problem yang seringkali ditemui dalam penyusunan tata kelola pembangunan desa adalah ketidak-jelasan arah dan keberlanjutan pembangunan desa ke depan, serta tidak adanya pelibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan desa. Dalam draft tata kelola desa, seharusnya arah pembangunan desa memepertimbangkan potensi yang dimiliki desa, baik potensi di sektor maritim (perikanan dll), maupun potensi desa di sektor agraria (potensi pertanian dll). Terkadang kita lalai dengan potensi sumberdaya yang begitu besar dimiliki desa.
Di sisi lain, ironisnya adalah desa yang seyogianya memiliki potensi ekonomi yang cukup besar, bahkan menjadi wilayah penyangga pangan nasional, malah sebagian besar penduduknya tergolong miskin. Selain itu, sejak disahkannya UU Desa, desa di-support dengan anggaran yang cukup besar, namun sampai saat ini belum terlihat perubahan yang signifikan penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan di desa.
Jika kita merujuk pada data BPS Propinsi Gorontalo, diketahui bahwa presentasi kemiskinan perkotaan pada Maret 2018 sebesar 5,26 persen, sementara di perdesaan mencapai 24,09 persen. Data ini menunjukkan bahwa presentasi kemiskinan di wilayah pedesaan masih cukup tinggi dibanding dengan kemiskinan di perkotaan. Jika kita lihat perbandingan presentasi kemiskinan kota-desa tahun 2014 (tahun 2014 disahkannya UU Desa), di mana kemiskinan kota sebesar 6,24 persen sementara di pedesaan mencapai 23,21 persen. Selanjutnya pada tahun 2015 presentasi kemiskinan perkotaan sebesar 6,84 persen sementara di pedesaan mencapai 24,17 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak ada penurunan secara signifikan angka kemiskinan di pedesaan. Di sisi lain, dari data IDM Tahun 2019, Gorontalo memiliki sebanyak 7 desa kategori Sangat Tertinggal dan 154 Desa kategori Tertinggal. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, Apa yang salah dengan tata kelola desa di Gorontalo?
Komitmen UNG untuk Pembangunan Desa Berbasis (SDGs)
Perguruan Tinggi merupakan icon lembaga ilmiah, sehingga sudah sepantasnya mengambil bagian dalam agenda-agenda strategis di masyarakat melalui pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, pengabdian pada masyarakat. Pada konteks ini, UNG sebagai salah satu perguruan tinggi yang cukup terkenal di Gorontalo, setidaknya mengambil bagian dalam agenda-agenda strategis khususnya untuk tata kelola pembangunan desa ke depan.
Belum lama ini, saya mengikuti kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pilkades dan Tata Kelola Desa yang dilaksanakan UNG. Pada kegiatan tersebut hadir kurang lebih 40-an kepala desa dan beberapa dinas terkait seperti PEMDES. Dari kegiatan tersebut, banyak informasi yang digali, terutama terkait permasalahan yang dihadapi pemerintah desa. Kegiatan ini tidak hanya sebatas acara seremonial, namun lebih dari itu, dimana tindak lanjut dari agenda ini adalah penandatanganan kerjasama UNG dan Desa-desa untuk mengawal agenda pembangunan desa.
Merujuk pada berita online yang dirilis pojok.id pada 13 Desember 2019, bahwa Rektor UNG memastikan bahwa ke depan tidak ada lagi desa “gagal” di Gorontalo. Hemat saya, gagasan UNG ke depan sangat tepat, mengingat kondisi tata kelola desa saat ini belum sesuai harapan. Tentunya, untuk merealisasikan harapan ini, perlu agenda-agenda strategis yang menyentuh langsung dengan akar permasalahan di desa. Untuk itu, UNG sebagai lembaga ilmiah, sudah sepantasnya mengambil bagian dalam mengawal dan memastikan masa depan desa di Gorontalo dan umumnya desa-desa di Teluk Tomini.
Agenda strategis yang sesuai kebutuhan desa salah satunya adalah pendampingan untuk tata kelola desa berbasis SDGs. Terutama pendampingan dalam penyusunan RPJMDes, APBDes, RKPDes, dan BUMDES (berbasis SDGs), yang disesuaikan dengan esensi masalah dan kebutuhan masyarakat desa. Kegiatan pendampingan harus mampu mendekonstruksi akar permasalahan di desa, agar tidak ada lagi yang “gagal paham” dalam menentukan arah pembangunan desa ke depan. Salah satu penyebab utama dari mandeknya pembangunan desa, adalah perencanaan yang tidak maksimal, terutama dalam penyusunan RPJMDes. Bisa dicek ada berapa persen RPJMDes dan draft kerja BUMDES yang copy paste? Selanjutnya, antara masyarakat dan elit desa, siapa yang paling dominan keterlibatannya dalam penyusunan RPJMDes maupun keterlibatan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan desa? Tidak mengherankan jika arah pembangunan desa mengalami “kegalauan”.
Langkah UNG untuk hadir di desa, merupakan komitmen yang harus diapresiasi. Langkah ini menunjukkan bahwa sebagai lembaga ilmiah, UNG merasa punya tanggung jawab besar terhadap masa depan pembangunan desa di Gorontalo secara khususnya dan umumnya desa-desa di wilayah Teluk Tomini. Dalam draft Localizing SDGs at Village Level 2019 ada 5 poin utama yang dipersiapkan Rektor UNG untuk Agenda Pembangunan Desa di wilayah Teluk Tomini diantaranya: 1) Tata Kelola Desa; 2) Peningkatan SDM; 3) Bumdes; 4) Potensi Desa; dan 5) Strategi Optimalisasi Potensi Desa.
Salah satu dari beberapa kegiatan Peningkatan SDM adalah pendampingan untuk pengembangan sumberdaya manusia, UNG akan melakukan penguatan kapasitas SDM (mahasiswa/i) termasuk lulusan (fresh graduate) terkait pengetahuan dan keahlian dalam mainstreaming SDGs. Disamping itu, pendampingan juga meliputi sosialisasi dan penguatan kapasitas aparat desa mengenai tujuan-tujuan SDGs dan kaitannya dengan tujuan pemerintah desa, serta membangun sistem informasi SDGs Desa yang terintegrasi di UNG. Sementara
Selain itu, semua riset yang berhubungan dengan tema desa akan dikeroyok bersama malalui pendekatan multi-disiplin ilmu. Riset tematik di desa berdasarkan pada spesialisasi Fakultas/Jurusan/Prodi. Dengan multi-disiplin ilmu ini kemudian, dapat dipetakan problem-problem di pedesaan, termasuk solusi penyelesaiannya.
Dari agenda-agenda strategis ini, setidaknya UNG hadir sebagai jawaban atas permasalah yang dihadapi masyarakat desa di seluruh desa di Gorontalo khususnya dan di wilayah Teluk Tomini pada umumnya.
Membangun negeri dari desa, merupakan program yang dilakukan sejak dulu. Namun, usaha tersebut selalu mengalami kegagalan.
Tulisan diatas adalah gambaran wajah desa di era millennial peovinsi gorontalo, yang sedang mengalami keterpurukan. Dengan agenda-agenda strategis ini, setidaknya Jurusan sosiologi universitas negeri gorontalo hadir sebagai jawaban atas permasalah yang dihadapi masyarakat desa di seluruh desa di Gorontalo. Maju terus bung!